Adanya MEA akan menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global, sedangkan ekonomi global saat ini sedang diarahkan menuju sebuah bentuk pasar bebas. Dalam pasar bebas, semua orang bebas bersaing, sehingga perusahaan-perusahaan kecil harus bisa menjadi lawan perusahaan-perusahaan besar, bahkan perusahaan-perusahaan besar yang berskala internasional. Tentu saja sedikit kemungkinan perusahaan-perusahaan kecil ini bisa bertahan. Buktinya bisa kita lihat dari akibat keikutsertaan Indonesia dalam APEC, salah satunya dalam sektor industri. Sebanyak 6.123 perusahaan dalam negeri lenyap akibat produknya tidak bisa bersaing dengan produk luar. Perusahaan-perusahaan ini di antaranya perusahaan makanan dan minuman, tembakau, tekstil, dan pakaian jadi. Hal ini tentu mengakibatkan puluhan atau ratusan ribu bahkan jutaan orang kehilangan pekerjaan, dan berikutnya keluarga mereka pun menjadi kesulitan dalam ekonomi.
Hal tersebut dikuatkan dengan kerugian lain yang ditimbulkan dari implementasi ACFTA. Indikasi kerugian implementasi ACFTA antara lain menurunnya produksi industri sekitar 25-50%, penurunan penjualan di pasar domestik 10-25%, dan penurunan keuntungan 10-25%. Selain itu juga pengurangan tenaga kerja 10-25%. Berdasarkan data dari Institute for Global Justice (IGJ), penerapan ACFTA sejak 2005 telah menimbulkan berbagai persoalan perdagangan dan industri. Permasalahan-permasalahan ini tentu akan menjadi sama dalam pelaksanaan program MEA.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa program-program semacam MEA, APEC, dan ACFTA bukan bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat kelas bawah, namun digunakan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dari perdagangan bebas, terutama negara-negara barat. Sudah seharusnya Indonesia tidak bergabung dalam MEA. Program ini hanya akan melanggengkan kekuasaan asing di Indonesia. Akan banyak kerugian yang ditanggung masyarakat dengan keikutsertaan dalam MEA.
Perekonomian Indonesia dan seluruh negara di dunia hanya akan bangkit dengan sistem yang benar, yaitu sistem yang berasal dari Sang Pencipta, Allah SWT., bukan dengan sistem buatan manusia dengan segala strateginya seperti perdagangan bebas yang menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Sistem ini adalah Islam yang diterapkan di dalam Khilafah sebagai institusinya.
Konsep Ekonomi Islam Yang Menyejahterakan
Islam sebagai suatu ideologi/mabda’ yang berasal dari Allah Yang Maha Mengetahui memiliki tata ekonomi dunia yang dapat menyejahterakan. Sistem ekonomi ini diterapkan oleh Institusi Pemerintahan Islam dalam bentuk Khilafah Islamiyah, yang memiliki karakteristik sebagai junnah (pelindung) dan raa’in (pengatur).
Prinsip Khilafah dalam mengelola kehidupan publik:
- Pemerintah bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan pemenuhan hajat hidup publik
- Anggaran mutlak untuk pengeluaran kemaslahatan publik dan fasilitas umum yang ketiadaannya mengakibatkan kemudharatan
- Institusi pemerintah penyedia barang dan jasa hajat hidup publik adalah perpanjangan tangan negara
- Negara tidak dibenarkan mengambil pemasukan dari fasilitas umum seperti rumah sakit serta sarana dan prasarana transportasi publik, termasuk jalan umum
- Industri-industri barang publik berstatus milik umum wajib mengutamakan fungsi pelayanan dari pada fungsi bisnis
- Tidak dibenarkan model kemitraan pemerintah swasta, KPS (Puclic Private Partnership, P3S)
- Kekuasaan bersifat sentralisasi, administrasi bersifat desentralisasi
- Independent terhadap agenda politik hegemonik. Serta anti Penjajahan
- Strategi pelayanan mengacu pada tiga hal, yaitu: Kesederhanaan aturan; Kecepatan layanan; Dilakukan oleh individu yang kompeten dan capable
- Karakter penguasa, Kepemimpinan (Syakhsyiyah mas’uliyah): Taqwa, Rafiq (lemah lembut), hubungan dilingkupi ketulusan, tidak menyentuh sedikitpun harta kekayaan umum, memerintah dengan Islam
- Hanya khilafah, bagian integral sistem kehidupan Islam.
Prinsip dasar perdagangan internasional Khilafah :
- Dalam perdagangan luar negeri (foreign trade), Negara Khilafah akan campur tangan untuk mencegah dikeluarkannya beberapa komoditi dan membolehkan beberapa komoditi lain, serta campur tangan terhadap para pelaku bisnis Kafir harbi dan mu’ahid
- Dalam perjanjian perdagangan luar negerinya, Negara Khilafah membuat kesepakatan berdasarkan asas kewarganegaraan pedagang, bukan asas komoditas
Oleh karena itu, para pelaku bisnis yang keluar masuk wilayah Negara Khilafah, terbagi menjadi 3 kelompok dengan perlakuan berbeda: warga negara khilafah (baik muslim maupun non muslim ahli-dzimmah), orang-orang kafir mu’ahid, dan orang-orang kafir harbi.
Kemampuan khilafah Islam dalam menerapkan sistem pemerintahan dan ekonomi seiring dengan pandangan Islam yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kapitalisme serta sistem demokrasi yang telah gagal menyejahterakan masyarakat dunia.
Sejarawan Will Durant menuturkan kebijakan perdagangan Khilafah Abbasiyyah di era Harun al-Rasyid:
“Di antara keistimewaan ekonomi yang dinikmati oleh wilayah Asia Barat (Timur Tengah) adalah adanya satu pemerintahan yang menguasai kawasan ini, di mana sebelumnya telah terbelah menjadi empat negara. Dampak dari kesatuan wilayah ini adalah hilangnya semua halangan tarif dan tax, serta halangan-halangan perdagangan yang lain di dalam negeri. Ini ditambah dengan fakta, bahwa bangsa Arab tidak seperti bangsawan Eropa yang selalu memalak pedagang dan memeras mereka. Aktivitas perdagangan ini terus berlanjut, dan berhasil menghembuskan kehidupan yang kuat di seluruh penjuru negeri hingga puncaknya pada abad ke-10. Di saat Eropa masih mengalami kemunduran hingga pada level terendah. Ketika perdagangan ini telah tiada, jejak-jejaknya masih tersisa dan tampak jelas dalam sejumlah bahasa Eropa, di mana sejumlah kosakata telah masuk di dalamnya. Seperti Tariff, Magazine, Cravan dan Bazaar.”
Masyarakat Dunia Butuh Khilafah
Atas dasar itu, tak ada alasan bagi seorang muslim melirik solusi selain sistem Islam untuk menjadi tatanan ekonomi dunia. Ketika ia menyatakan beriman pada Allah, sudah sepatutnya pula keimanan itu mengembalikan pemahamannya terhadap Islam sebagai ideologi (tatanan kehidupan) dengan pemahaman yang benar.
Sudah saatnya kaum muslimin mengembalikan penerapan Islam Ideologi dalam sistem Khilafah Islamiyah yang ditetapkan oleh nash syara’, bukan sistem demokrasi buatan manusia. Khilafah Islamiyah institusi Islam yang terbukti hampir 13 abad mampu mewujudkan tatanan kehidupan dunia yang menyejahterakan dan menghantarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Saatnya kembali kepada Islam dengan mengikuti toriqoh Rasulullah SAW dalam menegakkan khilafah Islamiyah dalam suatu pergerakan politik di seluruh dunia bersatu dengan satu tujuan yang sama.
Ditulis oleh
Dinda Fidela
Staff PSDI