JANGAN LEWATKAN!
Home » Artikel » Mengenal Lebih Dekat Saham Syariah

Mengenal Lebih Dekat Saham Syariah

       Saham merupakan salahsatu instrumen keuangan berupa bukti penyertaan modal terhadap suatu perusahaan. Saham adalah bagian dari sumber dana yang dimiliki untuk melakukan kegiatan operasi perusahaan. Bagi pemilik saham, instrumen ini merupakan salahsatu bentuk investasi atas dana yang dimiliki. Saham perusahaan terdiri dari dua jenis, yaitu saham biasa dan saham preferen. Perbedaan kedua jenis saham ini terletak pada hak suara dan hak pembagian dividen. Pemilik saham biasa memiliki hak suara untuk menentukan kebijakan perusahaan. Sedangkan, pemilik saham preferen tidak memiliki hak suara untuk menentukan kebijakan perusahaan meski dalam pembagian dividennya didahulukan dari pemilik saham biasa.

       Berdasarkan sensus tahun 2010, jumlah penduduk muslim Indonesia mencapai 209 juta dari total penduduk 253 juta jiwa. Jumlah muslim yang besar ini, menimbulkan dorongan bagi Pemerintah untuk mengembangkan industri keuangan syariah termasuk pasar modal syariah yang terdiri dari beberapa instrumen salahsatunya saham syariah. Namun hal ini terkendala oleh peraturan – peraturan yang akan ditetapkan. Tidak ada pembahasan mengenai saham secara khusus di dalam Al- Qur’an. Di zaman Rasulullah pun belum diberlakukan penjualan saham dan instrumen pasar modal lainnya, semua kegiatan perdagangan dilakukan secara riil pada saat itu sehingga penjualan saham belum diatur dalam Al- Hadist. Untuk itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Dewan Syariah Nasional (DSN) mengeluarkan fatwa pada tahun 2003 mengenai pasar modal.

       Saham syariah merupakan saham yang bergerak di sektor halal dan tidak bersifat spekulatif. Untuk memastikan hal tersebut, daftar saham syariah selalu di evaluasi tiap 6 bulan sekali. Selain itu, pembelian saham syariah memiliki ketentuan minimum holding period atau waktu minimum bagi pemegang saham yang diharapkan dapat mengurangi penggunaan saham syariah sebagai objek spekulasi.

      Saham syariah di Indonesia pertama muncul pada tahun 2000 yang mulai diterbitkan oleh Jakarta Islamic Index (JII), selanjutnya ditindak lanjuti dengan munculnya Daftar Efek Syariah (DES) pada tahun 2007 dan Index Saham Syariah Indonesia (ISSI) pada tahun 2011. Sayangnya kemunculan saham syariah di Indonesia ini bukanlah kemunculan yang pertama kali, sebelumnya saham syariah telah diterbitkan oleh Dow Jones Islamic Index Amerika pada tahun 1999 dan Kuala Lumpur Stock Exchange Shariah Index (KLSE SI) Malaysia pada tahun yang sama.

Tidak semua saham yang termasuk dalam BEI dapat dikategorikan sebagai saham syariah. Ada beberapa ketentuan yang mengatur hal tersebut, yaitu :

  1. Perusahaan Publik yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, seperti: perjudian, perdagangan yang tidak disertai dengan penyerahan barang, perdagangan dengan penawaran palsu (najsy), perusahaan pembiayaan berbasis bunga, jual beli yang mengandung unsur ketidakpastian, memperdagangkan barang atau jasa haram zatnya, atau memperdagangkan barang dan jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat serta melakukan transaksi yang mengandung unsur suap (risywah).
  2. Rasio utang terhadap ekuitas kurang dari 45%

Rasio ini menentukan seberapa besar modal di biayai oleh utang. Semakin besar angka rasio ini, semakin besar modal yang berasal dari utang. Perusahaan yang baik adalah perusahaan yang memiliki rasio utang terhadap ekuitas yang kecil bilamana mungkin perusahaan tidak memiliki utang sama sekali. Sesuai dengan anjuran Rasulullah untuk tidak memiliki utang, kecuali dikarenakan keadaan terpaksa. Namun, saat ini untuk memiliki modal yang bersih dari utang merupakan hal yang sulit bagi sebuah perusahaan sehingga DSN mentolerir jumlah utang maksimal 45% dari total modalnya.

  1. Rasio total pendapatan bunga dan total pendapatan tidak halal lainnya dibandingkan total pendapatan usaha dan total pendapatan lainnya kurang dari 10%.

Sesuai prinsip syariah yang menghindari riba, seharusnya perusahaan yang memiliki pendapatan yang berasal dari riba dan pendapatan lain yang tidak halal tidak dapat dikategorikan sebagai perusahaan yang dapat menyertakan sahamnya dalam saham syariah. Namun, saat ini sulit untuk memastikan perusahaan samasekali tidak berinteraksi dengan pihak – pihak yang tidak menggunakan riba. Oleh karena itu,terdapat toleransi 10% untuk penghasilan yang berasal dari sektor non halal.

  1. Saham preferen diharamkan dalam transaksi saham syariah.

Hal ini disebabkan karena, transaksi ini mengandung unsur riba dan ketidak adilan dimana pemilik saham akan memperoleh keuntungan yang tetap setiap periodenya dan memiliki hak istimewa untuk memperoleh dividen terlebih dahulu apabila perusahaan mengalami likuidasi.

       Di zaman dengan perkembangan ekonomi dan teknologi yang pesat ini, kegiatan muamalah yang makin kompleks tak dapat terhindarkan. Saat ini banyak bermunculan jenis jual beli baru yang tidak dijelaskan secara detil dalam Al-Quran dan Al-Hadist. Untuk mensiasati hal tersebut, Allah menurunkan surat An-Nahl ayat 43 mengenai ijtihad atau bantuan ahli dalam menentukan keputusan yang tidak diatur dalam kalam Allah.

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka (Muhammad), maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl :43)

       Penggunaan ijtihad salahsatunya dilakukan untuk menyikapi halal–haramnya jual beli saham. Melalui beberapa pertimbangan para Ulama yang ada di DSN MUI, berinvestasi saham diperbolehkan dengan beberapa persyaratan yang harus terpenuhi.

       Ada pro–kontra mengenai penerapan persyaratan perusahaan yang menerbitkan saham syariah seperti pada uraian diatas. Hal ini dikarenakan persyaratan saham syariah tidak murni menghindari riba.

Tentu ada beberapa alasan bagi DSN MUI untuk menetapkan hal tersebut, salah satunya mengingat keadaan ekonomi Indonesia yang masih didominasi oleh lembaga keuangan konvensional yang tidak memungkinkan suatu perusahaan menghindari riba. Untuk itu, DSN MUI menghalalkan pendapatan tersebut dengan proporsi yang kecil, dengan harapan semakin berkembangnya industri keuangan syariah di Indonesia dapat mengurangi sedikit demi sedikit unsur non halal yang ada dalam saham syariah.

Agisa Alessandra

Staf KES

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*